Penulis : Abid Bisara
Sigerpos β Di balik gegap gempita pemilihan kepala daerah (Pilkada), tersembunyi dinamika kekuasaan yang tidak selalu berpihak pada rakyat. Terpilihnya seorang gubernur, bupati, atau wali kota dalam pesta demokrasi lima tahunan kerap kali bukan semata-mata hasil dari kerja keras calon atau keinginan murni rakyat. Di banyak kasus, kemenangan itu adalah buah dari peran besar partai politik dan anggota legislatif yang menggerakkan mesin suara.
Dukungan politik itu juga jarang, jika tidak ingin menyebut tidak pernah sama sekali, diberi secara cuma-cuma. Gratis. Tanpa syarat. Di kemudian hari, saat si kepala daerah telah dilantik, dukungan tersebut berubah menjadi utang politik yang harus dibayar. Akibatnya, tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya terjebak dalam kendali legislatif, menjalankan pemerintahan bukan atas dasar visi untuk rakyat, melainkan atas arahan partai atau segelintir elite politik di parlemen daerah.
Secara teori, hubungan eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan daerah diatur untuk saling mengawasi dan mengimbangi, sebagaimana prinsip checks and balances. Namun, dalam praktiknya di lapangan, yang sering terjadi justru adalah pergeseran fungsi: legislatif menjadi “penguasa” sesungguhnya, sementara kepala daerah menjadi boneka yang digerakkan oleh kepentingan politik.
Yang kita lihat bukan sekadar interaksi politik biasa. Ini sudah menjadi bentuk oligarki lokal, di mana sekelompok kecil elite mengendalikan seluruh jalannya pemerintahan. Bahkan, dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat bahwa praktik politik transaksional di tingkat daerah menjadi salah satu sumber suburnya korupsi di Indonesia. Setiap tahun, ada puluhan kepala daerah yang terjerat kasus hukum karena terlibat jual-beli jabatan, penyalahgunaan APBD, atau pengaturan proyek yang sarat kepentingan politik.
Dominasi legislatif terhadap kepala daerah tidak hanya berbahaya secara prinsip, tetapi juga menimbulkan dampak buruk bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Seperti melemahnya otonomi eksekutif, di mana kepala daerah tidak lagi bebas mengambil keputusan strategis. Setiap langkah penting harus mendapatkan restu dari DPRD, atau malah individu di DPRD, yang sering kali sarat kepentingan kelompok tertentu.
Lalu, DPRD yang mendominasi kepala daerah juga akan melahirkan pemerintahan oligarkis. Alih-alih mengutamakan pelayanan publik, pemerintahan daerah lebih sibuk melayani kepentingan elite politik. Kepala OPD (Organisasi Perangkat Daerah) bahkan kerap menjadi korban, dipaksa tunduk pada pesanan politik atau rotasi jabatan transaksional.
Ada juga indikasi politik uang dalam penyusunan APBD. Sebagai instrumen utama pembangunan daerah, APBD menjadi alat tawar-menawar. Banyak proyek infrastruktur strategis mangkrak atau dikerjakan asal-asalan karena sudah dipolitisasi sejak tahap perencanaan.
Dampak buruknya di level rakyat, tentu pembangunan yang tersendat. Ketika keputusan penting harus melewati tarik-menarik politik yang panjang, pembangunan jadi tak maksimal. Sehingga tak heran jika kepala daerah terlalu banyak berutang politik, maka pemerintahannya hampir pasti tidak bisa efektif.
Meski dominasi legislatif cenderung negatif, bukan berarti interaksi antara DPRD dan kepala daerah selalu buruk. Dalam kondisi tertentu, hubungan yang sehat dan saling menghormati justru bisa memperkuat demokrasi lokal.
Legislatif yang aktif mengawasi jalannya pemerintahan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif. Lalu, dengan adanya masukan dari berbagai fraksi, kebijakan publik menjadi lebih mewakili kepentingan banyak kelompok masyarakat. Juga terkait stabilitas politik. Hubungan harmonis antara legislatif dan eksekutif memungkinkan program-program prioritas berjalan mulus tanpa gangguan.
Untuk menghindari jebakan kepala daerah boneka legislatif, sejumlah solusi perlu segera diupayakan. Partai politik harus memperbaiki mekanisme pencalonan kepala daerah agar lebih transparan dan berbasis merit, bukan sekadar loyalitas atau transaksionalisme. Rakyat juga harus diberi ruang lebih besar untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah, baik melalui forum-forum konsultasi publik maupun media sosial.
Selain itu, upaya pemberantasan korupsi di daerah tidak boleh hanya bergantung pada niat baik elite lokal. Peran lembaga pengawas eksternal menjadi sangat penting untuk mengontrol potensi penyimpangan. Maka diperlukan pengutan lembaga pengawasan daerah dan tentu peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terakhir, dan mungkin yang paling penting, dibutuhkan kepala daerah yang berani, berintegritas, dan mampu menolak intervensi politik yang merugikan rakyat. Demokrasi lokal hanya akan sehat kalau kita punya kepala daerah yang kuat secara politik, tetapi tetap rendah hati terhadap aspirasi rakyat.
Pilkada sejatinya menjadi ajang memperkuat demokrasi dari bawah. Namun jika kepala daerah justru terperangkap dalam jerat politik transaksional, maka mimpi itu akan semakin jauh dari kenyataan.
Masyarakat harus terus kritis, partai politik harus berbenah, dan sistem pengawasan harus diperkuat. Tanpa itu semua, kepala daerah hanya akan menjadi boneka legislatif β sekadar aktor panggung dalam drama demokrasi yang kehilangan makna. (*)